Langit Runtuh
Oleh : Dahlan Iskan
SAYA kontak satu per satu teman saya di Beirut. Sudah lebih satu tahun saya tidak mengontak mereka. Kali ini saya harus melakukannya: ledakan 4 Agustus itu begitu dahsyat —158 orang meninggal. Masih banyak yang dinyatakan hilang. Yang terluka sampai 6.000 orang. Yang kehilangan rumah 300.000 orang.
Teman saya termasuk yang selamat. Kabar itu baru saya terima kemarin. Mereka menceritakan kengerian ledakan itu. Yang setara dengan gempa bumi 3,3 skala richter —tapi pusat gempanya di permukaan bumi. Di pelabuhan Beirut, ibukota Lebanon.
Getaran ledakan itu sampai terasa di negara Cyprus. Di Israel. Di Syria. Maklum yang meledak adalah 2.750 ton ammonium netrat. Yang kekuatannya setara dengan 1,2k ton bom TNT.
Saya kembali terbayang ketika seminggu penuh di Beirut tahun lalu. Dari lantai atas hotel saya bisa melihat pelabuhan itu. Saya juga membayangkan Beirut Souk, mal termodern di sana. Yang tiap hari saya jalan-jalan di Souk itu. Yang kini tetap utuh tapi kaca-kacanya berantakan.
Kemarin, setelah empat hari, jelaslah asal usul peristiwa itu. Jelas juga bahwa Presiden Donald Trump sangat ngawur —yang buru-buru menyebut ledakan itu sebagai serangan.
Ternyata begitu sepele penyebab ledakan itu. Ini ibarat manusia satu kota minum air PDAM yang pipanya dibiarkan keropos kemasukan racun. Padahal posisi pipa itu di atas tanah, di depan mata.
Cerita agak lengkapnya begini: ini adalah kisah sedih kapal dari negara miskin, membawa barang dari negara miskin untuk dibawa ke negara miskin. Tentu kapal itu sudah sangat tua: bikinan tahun 1984. Yang diangkut kapal itu adalah bahan baku peledak. Untuk perusahaan pembuat peledak di Mozambique, di pantai timur Afrika. Di seberang pulau Zanzibar itu.
Perusahaan angkutannya pun dicari perusahaan yang mau banting harga. Yakni perusahaan kecil dari negara miskin Cyprus. Perusahaan inilah yang terakhir membeli kapal tua itu. Yang sudah pindah tangan 12 kali itu.
Bahan baku peledak itu sendiri berasal dari negara miskin pecahan Uni Soviet, Georgia. Lewat pelabuhannya yang di pantai Laut Hitam, Batuni.
Nama kapal tua itu bernama Rhosus. Itulah nama terakhir setelah berganti nama lebih dari 10 kali. Panjangnya 86 meter. Ukurannya 3.200 Dwt. Sebenarnya kapal itu buatan Jepang tapi memang sudah harusnya diskrab. Itulah kapal angkutan umum dengan tempat barang di dua section.
Sebenarnya kapal tua ini tidak harus lewat Beirut. Tujuan akhirnya adalah Mozambique. Berarti dari Batuni kapal itu harusnya mengarungi Laut Hitam menuju selat Bosporus di Istanbul. Lalu masuk Laut Marmara. Masuk lagi Laut Tengah —menyusuri lepas pantai Izmir, Turki. Dari situ kapal ini bisa langsung menuju terusan Suez. Lantas menyusuri lepas pantai timur Afrika. Tibalah di Mozambique.
Mestinya.
Tapi kapal itu tidak punya uang untuk membayar ongkos tol melewati terusan Suez. Terusan ini dibangun sangat mahal oleh Inggris. Di tahun 1876. Sekarang dikuasai sepenuhnya oleh Mesir.
Ongkos tol Suez itu mahal. Untuk ukuran kapal seperti Rhosus ongkos tolnya bisa 13.500 dolar. Atau hampir Rp 500 juta. Maka untuk bisa membayar ongkos lewat terusan Suez kapal Rhosus harus ngompreng: mencari angkutan tambahan di perjalanan.
Ada.
Yakni mesin tua yang sangat besar ukurannya. Media di Lebanon, yang menjadi sumber tulisan ini, tidak menyebut mesin apa. Mesin itu ada di pelabuhan Beirut. Harus diangkut ke pelabuhan Aqaba, di Jordania.
Ongkos angkut mesin itu cukup untuk membayar tol terusan Suez. Toh, untuk menuju pelabuhan Aqaba juga harus melewati terusan sepanjang 190 Km itu.
Berarti dari lepas pantai Izmir, kapal tua Rhosus harus mampir dulu ke Beirut. Kapal itu bersandar di pelabuhan Beirut bulan September 2013. Untuk mengambil mesin tua itu.
Tapi mesin itu terlalu besar. Peralatan di pelabuhan Beirut tidak seperti di negara maju. Saat dicoba diangkat naik ke kapal mesin tua itu menghantam kapal tua. Kapalnya rusak.
Kapal Rhosus harus diperbaiki di situ. Tapi tidak punya uang. Kapal harus lebih lama bersandar di pelabuhan Beirut. Berarti ongkos sandar pun bertambah-tambah. Apalagi harus membayar denda —akibat pembayaran yang tidak juga dilakukan.
Tapi muatan awal yang ada di kapal itu, kalau disita, masih ada harganya: bahan baku peledak itu. Asalkan kapal itu tidak tenggelam. Padahal di kapal itu mulai terlihat ada rembesan air.
Maka pihak pelabuhan membongkar bahan baku peledak itu. Agar tidak terpendam air. Dimasukkanlah bahan baku peledak itu ke gudang di pelabuhan itu. Ke gudang nomor 12.
Aman.
Setidaknya bisa untuk jaminan pembayaran ongkos sandar. Tidak disangka gegara ingin menyelamatkan uang receh ini bencana besar terjadi. Tujuh tahun kemudian —4 Agustus barusan. Yang merugikan negara Rp 300 triliun.
Ketika muatan bahan baku peledak itu sudah pindah ke gudang, awak kapal masih harus tetap di dalam kapal. Pekerjaan rutinnya: menguras air laut yang mulai masuk ke kapal. Mereka adalah 7 orang asal Ukraina. Satu orang kapten asal Rusia. Status mereka yang warga negara asing membuat awak kapal harus tetap di kapal.
Perusahaan kapal itu tidak mau tahu. Tidak lagi punya kemampuan keuangan. Belakangan perusahaan itu sendiri tidak bisa bertahan hidup: bangkrut. Untuk biaya sehari-hari awak kapal pun menjual minyak kapal. Mereka menyedotnya dari tangki kapal. Dijual eceran. Toh kapal tidak bisa jalan dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.
Setelah 10 bulan telantar di pelabuhan Beirut, pemerintah Ukraina menyelamatkan awak kapal itu. Mereka bisa pulang ke Ukraina. Tinggallah kapten kapal asal Rusia itu sendirian. Ia harus bertahan di dalam kapal. Sambil menunggu penyelesaian.
Tidak bisa selesai.
Ups… akhirnya bisa selesai. Dengan sendirinya. Tuhan yang menyelesaikannya.
Problem itu selesai justru karena tidak ada lagi awak yang menguras air laut yang masuk ke kapal. Bahkan kapten kapal itu pun akhirnya sudah diselamatkan pemerintah Rusia. Kapal Rhosus tunggal sendirian terapung di laut dekat pelabuhan.
Lama-lama kapal Rhosus itu pun miring. Air laut yang masuk kapal kian banyak. Dalam tiga hari miringnya bertambah dalam. Akhirnya kapal tua itu tenggelam dengan damai. Oktober 2018.
Ketika Minggu lalu gudang itu meledak Rhosus sendiri hanya bisa melihat keruntuhan Beirut dari dasar laut sambil tetap memejamkan matanya. Sebenarnya saat itu sedang diproses: mau diapakan bahan baku peledak yang sudah 7 tahun di gudang itu?
Tidak bisa diapa-apakan. Harus menunggu putusan pengadilan. Yang rupanya di mana-mana sama: lama dan sangat lama. Begitulah hukum. Harus ditegakkan —sebagaimana mottonya– biar pun langit runtuh.
Tujuh tahun setelah kapal Rhosus sandar di pelabuhan Beirut langit memang tidak runtuh.
Beirut yang runtuh. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: