Tani Komunal

Tani Komunal

MUSIBAH besar melahirkan terobosan besar. Itu yang diimpikan banyak orang.

Tapi di bidang apa?

Mestinya di semua bidang. Setidaknya di bidang-bidang yang menjadi keunggulan Indonesia.

Saya memulainya dari sektor pertanian. Yang sejak semula saya jagokan sebagai sektor yang masih bisa bergerak, pun di tengah pandemi.

Kalau selama pandemi ini kita merasa belum ada terobosan, berhentilah ngedumel. Ayo kita ramai-ramai cari terobosan itu.

Siapa pun, juga Anda, bisa mengusulkan terobosan apa yang harus kita lakukan. Untuk langkah pertama kita batasi di sektor pertanian dulu.

Ayo kita ramai-ramai membuat usulan. Apa saja. Jangan ragu usulan Anda itu penting atau tidak. Jangan peduli orang menilai apa.

Dari usulan-usulan itu nanti, saya akan mengajak sejumlah ahli untuk membuat ranking. Mana yang paling prioritas harus kita kerjakan. Mana pula yang kurang prioritas. Untuk kita bahan belakangan.

Ranking itu, kalau sudah tersusun, akan saya umumkan di Harian Disway. Juga di DI’s Way.id. Lengkap dengan uraian mengapa rankingnya seperti itu.

Saya sendiri akan mengusulkan beberapa terobosan.

Ups… Jangan banyak dulu. Satu saja dulu. Di sini saya hanya akan usul satu terobosan saja dulu.

Selebihnya saya yakin akan muncul usulan dari pembaca DI’s Way.

Keyakinan itu saya dasarkan pada logika bahwa kita itu sebenarnya sama-sama ingin maju. Sama-sama punya banyak ide. Sama-sama punya keluhan yang sama.

Maka sambil mengisolasi diri di rumah, usulkanlah terobosan besar apa yang perlu dilakukan negeri ini untuk sektor pertanian. Dan inilah satu terobosan yang saya usulkan: pertanian komunal.

Dengan pimpinan program: bupati.

Kita semua tahu, pertanian kita tidak efisien. Salah satu penyebabnya jelas: lahan pertanian kita dimiliki perorangan (petani) dengan luasan rata-rata 0,3 hektare.

Tiap petani mengerjakan lahan masing-masing. Di petak-petak sawah yang kecil. Tidak terkoordinasi: jenis yang ditanam, pupuknya, pembasmi hamanya dan pengerjaannya.

Teknologi yang dipakai juga sangat tradisional. Modernisasi sangat sulit dilakukan. Mekanisasi menjadi mustahil. Praktiknya para petani itu menyewa traktor untuk menggarap sawah. Tapi biaya demob traktor itu menjadi sangat mahal.

Alangkah hebatnya kalau petani dalam satu hamparan itu bersatu. Tidak usah mengerjakan sendiri-sendiri. Sebaiknya setiap komunal itu luas hamparannya minimal 300 hektare. Kalau bisa lebih luas dari itu.

Tentu, sekarang ini, satu hamparan seluas 300 hektare itu dimiliki sekitar 500 petani. Maka 500-an petani itulah yang harus bersatu dalam satu kelompok tani.

Kelompok tani itu menyusun pengurus. Pengurus itu bertindak sebagai semacam dewan komisaris. ‘Dewan komisaris’ itu lantas mencari ‘direktur utama’ yang akan diserahi menggarap lahan komunal. Dengan target-target yang ditentukan.

Salah satu terobosan yang harus dilakukan adalah membuang galengan pembatas sawah. Dengan demikian lahan seluas 300 hektar itu tanpa galengan sama sekali.

Tentu membuang galengan ini sangat sensitif. Lebih sensitif dari Rocky Gerung. Tapi itulah yang disebut terobosan. Harus ada perubahan besar.

Galengan itu kita ubah secara mendasar: menjadi titik-titik kordinat. Galengannya disimpan di komputer atau di HP. Tidak lagi di atas sawah. Juga disimpan di komputernya kantor agraria.

Dalam perjalanannya, kalau ada petani yang ingin menjual sawah, mereka hanya menjual titik kordinat.

Dengan hilangnya galengan di hamparan 300 hektare itu maka pengerjaan sawahnya bisa full mekanisasi. Mulai dari pengolahan lahan, penanaman sampai panennya.

Tugas pemerintah pusat hanya menjadi penggerak. Dengan cara mengadakan semacam lomba antar bupati: siapa yang mau ikut program ini.

Artinya, pemerintah pusat mencari siapa bupati yang tertarik menyukseskan program ini. Tanpa lewat instruksi dari atas —yang biasanya kurang sukses.

Yang dicari adalah satu bupati yang punya sikap optimistis bisa meyakinkan petani di satu hamparan. Untuk bisa berubah menjadi petani komunal.

Lomba’ ini untuk tahun pertama sebaiknya hanya dilakukan di lima provinsi penghasil padi: Jabar, Jateng, Jatim, Bali, dan Sulsel. Di satu provinsi cukup ada satu kabupaten yang menjadi pemenang.

Pemerintah pusat menyediakan semacam ‘hadiah’. Traktor, pupuk, mesin panen, fasilitas kredit untuk cost of living bagi petani pemilik sawah. Petani mendapat uang muka senilai hasil panen di tahun sebelumnya.

Kalau hasil pertanian komunal itu ternyata lebih besar, petani masih mendapat tambahan pendapatan lagi.

Hadiah dari pemerintah pusat itu pada dasarnya adalah subsidi ‘kemajuan berpikir dan bertindak’ untuk petani.

Bagi lima bupati di lima provinsi yang menangani program ini akan mendapat fasilitas tambahan bagi kabupaten mereka. Misalnya dalam bentuk program besar yang diusulkan oleh bupati tersebut.

Para petani pemilik sawah bisa melamar bekerja di pertanian komunal itu. Dengan gaji dan beban kerja yang ditentukan oleh direksi komunal.

Pertanian komunal ini harus sukses. Untuk meraih sukses berikutnya. Yakni kian banyaknya pertanian komunal. Termasuk untuk komoditi lainnya: kedelai dan jagung.

Kalau petani sudah biasa hidup komunal giliran berikutnya tinggal pindah ke peternakan komunal. Dan komunal apalagi. Inilah penerapan prinsip gotong royong Pancasila untuk abad baru. (dahlan iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: