Sejak 2013 BBTNBBS Temukan 105 Jeratan Harimau

Sejak 2013 BBTNBBS Temukan 105 Jeratan Harimau

[caption id="attachment_24106" align="aligncenter" width="1024"] Aksi teaterikal Dalam rangka memperingati Hari Harimau Internasional atau Global Tiger Day (GTD) 2019, menggambarkan tentang perburuan ilegal terhadap Harimau Sumatera. - Foto Edi Prasetya[/caption]

Medialampung.co.id  – Sejak tahun 2013, berdasarkan hasil patroli tim Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) bersama para mitra TNBBS yang telah menjelajah sekitar 36 ribu kilometer (KM) di kawasan taman nasional, telah ditemukan sekitar 105 alat jeratan harimau dan mamalia besar.

Selain itu, BBTNBBS juga mencatat sejak tahun 2008 hingga Juni 2019, ada sekitar 225 kasus penanganan konflik manusia dan harimau yang telah ditangani, dan hingga kini hal tersebut masih menjadi fokus BBTNBBS beserta jajaran untuk terus berkomitmen meningkatkan populasi harimau seperti yang telah di canangkan pemerintah Republik Indonesia (RI).

Kabid Taman Nasional Wilayah II Amri, S.H, M.Hum., menjelaskan, berdasarkan hasil survey di site monitoring TNBBS tren populasi Harimau Sumatera terus meningkat dari tahun 2014 sampai 2018 , dengan estimasi jumlah populasi pada tahun 2014 ada sebanyak 28 individu, tahun 2015 bertambah menjadi 32 individu, tahun 2016 sebanyak 37 individu.

“Jumlahnya terus meningkat sejak tahun 2014,  namun terhitung sejak tahun 2017 hingga 2018 populasinya tetap yakni berjumlah 40 individu. Namun kami terus melakukan upaya-upaya sebagai bentuk komitmen kami dalam rencana peningkatan populasi harimau yang telah di canangkan pemerintah,” terang Amri.

Sementara, Regional Coordinator Sumatran Tiger Project GEF-UNDP, Nani mengaku bahwa masih ditemukan berbagai ancaman terhadap keberadaan harimau sumatera di kawasan TNBBS seperti adanya aktivitas perburuan dan perdagangan satwa ilegal, perambahan, pembalakan liar, serta konflik dengan manusia akibat berkurangnya habitat dan jumlah satwa mangsa.

“Seperti halnya kejadian harimau yang terkena jerat di Suoh pada pada Juni 2019 lalu, kami berharap ini merupakan peristiwa terakhir. Untuk itu diperlukan operasi sapu jerat secara intensif dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar terkait perlindungan kawasan, satwa dan tumbuhan yang dilindungi, serta prosedur penggunaan senjata api, penting dilakukan dalam rangka membangun kesadaran dan mengajak masyarakat untuk turut menjaga kawasan hutan dari ancaman kerusakan,” imbuhnya.

Dilain pihak BBS Landscape Manager, WCS-IP Firdaus Afandi menjelaskan bahwa menurut data lembaga konservasi dunia, International Union For Conservation of Nature (IUCN), jumlah harimau sumatera hanya berkisar 400-600 ekor. Sehingga satwa terancam punah ini pun dikategorikan kritis (Critically Endangered) menurut Daftar Merah  IUCN. Sehingga tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian harimau adalah hilangnya habitat alami harimau dan ancaman perburuan.

“Perburuan yang bisa merusak ini bukan hanya terhadap harimau saja, akan tapi juga perburuan terhadap satwa mangsanya seperti rusa dan babi hutan. Penggunaan jerat ini sangat berbahaya karena sifatnya tidak pandang bulu. Satwa apapun bisa terjerat, dan sudah terbukti dapat mengakibatkan kepunahan megafauna di daratan Asia. Di Indonesia sendiri, harimau sumatera dilindungi dalam Undang-Undang No. 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya,” tegasnya.

Lebih lanjut, Firdaus mengatakan, harimau sumatera merupakan subspesies terakhir yang tersisa di Indonesia setelah punahnya harimau bali dan harimau jawa. Sehingga tentu pihaknya tidak ingin kehilangan lagi satwa kebanggaan masyarakat Indonesia tersebut

“Sebagai generasi penerus, banyak cara yang dapat kita lakukan untuk berkontribusi melestarikan harimau sumatera. Hal ini bisa dimulai dari aksi kecil namun berdampak besar seperti ikut serta menyebarkan informasi pentingnya keberadaan harimau sumatera di ekosistemnya,” pungkasnya.(edi/lus/mlo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: