Rumah Ghozi

Rumah Ghozi

Oleh : Dahlan Iskan

"Ini pasti Ghozi," kata saya dalam hati.

"Ting... ting..", berbunyi lagi ponsel saya setengah tidak terdengar. Saya pun menatap jam di dinding: pukul 02.51.

"Kok senyum-senyum...," celetuk istri saya yang juga lagi makan sahur.

"Biasa...," jawab saya.

Saya hentikan ambil sembilang-masak-kuah-asam. Saya baca WA itu dulu.

"Saya diminta pimpinan untuk membuat aplikasi lindung-peduli. Sekarang sudah jadi," tulis Ahmad Alghozi Ramadhan di WA itu.

Pimpinan yang dimaksud adalah Letnan Jendral Doni Monardo, kepala BNPB. Sejak muncul di DI's Way sebagai "Milenial Nakal" (Baca: Milenial Nakal) bulan lalu Ghozi memang "pindah kos" di BNPB. Ia menempati salah satu sekat di lantai 10 di gedung BNPB itu. Bekerja di situ. Tidur di situ. Makan di situ. Ia diminta menjadi programer di pusat pengendalian Covid-19 itu.

Kebetulan Ghozi memang belum punya rumah. Tidak ada "gangguan" sedikit pun --misalnya ingin pulang. Ia bisa sepenuhnya membantu BNPB --hampir sepanjang siang dan malam.

Ghozi juga tidak punya banyak aset. Tidak punya barang yang perlu ia pikirkan. Pikirannya bisa penuh di BNPB.

"Sepeda motor Anda ditaruh di mana?" tanya saya.

"Saya tidak punya sepeda motor," jawabnya.

"Barang-barang Anda yang lain disimpan di mana?" tanya saya lagi.

"Di tempat saya kos dulu," jawabnya.

"Jadi, Anda masih bayar kos itu meski tidak Anda tempati?"

"Tidak. Barangnya saya titipan di kantor kos-kosan."

"Barang apa saja?"

"Panci dan rice cooker kecil."

"Hanya itu barang Anda?"

"Iya."

Ya sudah. Ghozi memang nakal. Yang ia pikirkan hanya aplikasi, aplikasi, dan aplikasi. Ini memang zaman aplikasi --yang ke depan akan mengalahkan birokrasi.

"Gak pernah ketemu pacar?"

"Tidak pernah."

"Tapi masih terus kontakan kan?"

"Masih. Hanya kalau malam. Lewat chatting."

"Tidak kangen?"

"Sejak dulu biasanya ya hanya begitu."

"Dia bekerja di mana?"

"Masih cari-cari kerja. Kan sama-sama baru lulus."

"Oh... Satu almamater di Universitas Telkom ya...?"

"Satu kelas," jawab Ghozi.

"Berarti dia gadis Bandung?"

"Iya. Sunda."

Sesekali Ghozi juga menelepon orang tuanya. Yang tinggal di Bangka --tenaga serabutan.

"Aplikasi yang diperintahkan pimpinan itu sudah dicoba di Bangka-Belitung. Sudah beberapa hari ini," ujar Ghozi. "Berjalan sangat baik," tambahnya.

Dengan aplikasi ini --#gardaperbatasan-- orang yang ingin pergi-pergi tidak perlu repot. Dari rumah mereka sudah bisa download aplikasi itu. Lalu memasukkan data yang diperlukan untuk pergi. Misalnya hasil tes-cepat, surat izin pergi, KTP dan seterusnya.

Di perbatasan nanti --ini antar provinsi dulu-- tinggal menunjukkan QR ke petugas. Dari scan QR itu petugas bisa tahu semua kelengkapan tadi.

Tidak perlu lagi pemeriksaan surat-surat.

Bagaimana kalau dokumen itu palsu?

"Ke depan masing-masing orang tidak bisa memasukkan data hasil tes. Rumah sakit-lah yang upload ke aplikasi," katanya.

Di Bangka Belitung hasil percobaan itu sangat baik. Kebetulan baru saja ada kapal merapat di pelabuhan Bangka Barat. Dari... tidak perlu disebut di sini. Membawa 70 penumpang.

Sebelum turun dari kapal mereka diminta download Apps tersebut. Lalu dipasangi gelang 'pahlawan anti Covid'.

Simpel sekali.

Bagaimana yang ponselnya iPhone?

"Kebetulan dari 70 penumpang itu yang 62 orang pakai Android," ujar Ghozi.

Sedang yang 8 orang lagi juga bukan karena iPhone. "Ada juga yang karena pakai ponsel jadul," tambahnya.

Mereka itu ditangani secara khusus: isi dokumen kertas.

Sehari kemudian salah seorang penumpang kapal itu merasakan gejala tidak enak badan. Lapor ke BNPB Bangka Belitung. Dilakukanlah tes-cepat: positif. Lalu dites swab: positif.

Maka 69 penumpang kapal lainnya wajib melanjutkan karantina di rumah masing-masing. Dimonitor lewat 'gelang pahlawan' --yang terhubung dengan komputer di BNPB.

Alhamdulillah. BNPB mulai punya aplikasi yang praktis untuk digunakan publik. Tinggal kapan provinsi lain mencobanya. Dan kapan dimulai: rumah sakit-lah yang mengunggah data hasil tes --untuk mencegah pemalsuan.

"Masih ada beberapa aplikasi lagi yang disiapkan. Baru selesai 70 persen," ujar Ghozi.

Itu termasuk aplikasi untuk mengatur pengunjung mal. Yang sangat diperlukan di era new normal nanti.

Masih begitu banyak yang perlu dikerjakan. Berarti Ghozi memang masih belum perlu punya rumah.(Dahlan Iskan)

---

Jangan lupa tonton episode #01 program 'Abah Menjawab' https://youtu.be/3mjp5LEvIQQ Bagi yang terus berpikir what's next, efek paling ditakutkan dari pandemi ini bukan hanya korban jiwanya. Melainkan dampak ekonominya. Kita semua sibuk atau disibukkan oleh angka pertumbuhan penderita, yang sembuh, dan yang meninggal setiap hari. Tapi, tidak pernah ada laporan harian, mingguan, atau bulanan yang menyebut berapa jumlah orang kehilangan pekerjaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: