Ribuan Perambah TNBBS Terancam Tidak Bisa Gabung Kemitraan Konservasi
Medialampung.co.id – Berdasarkan data Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BB-TNBBS) Wilayah II Liwa Lampung Barat, sebanyak 21.000 Hektare (Ha) hutan TNBBS di Lambar telah dirambah dan berubah menjadi perkebunan kopi, dengan jumlah sebanyak 11.000 Kepala Keluarga (KK) yang menggarap.
Mirisnya, perambahan tersebut bukan hanya dilakukan oleh warga yang bermukim di sekitar TNBBS, namuns ekitar 60 persen dari jumlah warga merambah adalah penduduk dari luar daerah, seperti Pulau Jawa, Sumatera Selatan, dan berasal dari beberapa daerah di Provinsi Lampung.
Kepala Bidang Wilayah II Liwa Amri, S.Hut, M.Hum., mengungkapkan, saat ini pihaknya terus mengidentifikasi masyarakat terkait dengan rencana kemitraan konservasi, dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan antara Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dengan Pemkab Lambar terkait pengelolaan kawasan hutan TNBBS setahun silam.
”Melalui kemitraan konservasi, tentunya bagaimana merubah pola masyarakat yang tadinya merusak kawasan hutan, nantinya bisa memiliki legalitas mengelola hutan dan melestarikannya, dan imbal baliknya masyarakat mendapatkan hasilnya dengan bersama-sama menggali potensi yang ada. Terkait kesepakatan antara Pak Dirjen dan pak Bupati setahun lalu, saat ini sudah kami tindaklanjuti dengan mengidentifikasi masyarakat,” kata dia.
Pihak TNBBS, lanjut Amri, berkomitmen bagaimana menjadikan hutan lestari dan masyarakat sejahtera, masyarakat mampu berbagi dengan alam dan berbagi dengan satwa yang ada, karena itu dalam mewujudkan itu semua perlunya peran serta semua pihak, baik masyarakat maupun dukungan dari pemerintah daerah.
”Kita akan terus melestarikan hutan, tentunya dengan cara baru dengan pemanfaatan hutan konservasi, kita rubah polanya yang dahulu kita usir sesuai aturan yang berlaku, kini bagaimana memanusiakan manusia. Jika selama ini, masyarakat sebagai objek kta rubah bagaimana masyarakat menjadi subyek, pada intinya hutan lestari, masyaraka sejahtera,” ujarnya.
Dalam kemitraan konservasi, jelas Amri, yang menjadi syarat penting adalah masyarakat yang diidentifikasi dan nantinya masuk dalam kelompok adalah masyarakat asli setempat, sesuai dengan Peraturan Dirjen No.6/2018 tentang pelaksanaan teknis kemitraan konservasi.
Terkait dengan 60 persen dari total sekitar 11.000 KK yang menggarap TNBBS adalah warga luar daerah, maka kedepannya mereka tidak berhak untuk ikut dalam kemitraan konservasi.
”Nantinya pengelolaan kawasan hutan akan dilakukan secara berkelompok, tidak lagi secara perorangan yang seperti selama ini terjadi, dan syaratnya juga masyarakat yang ikut kelompok adalah warga setempat, kalau di Lambar yah harus bisa membuktikan identitasnya sebagai warga Lambar,” kata dia.
Selain itu, sambung Amri, tidak seperti yang selama ini terjadi, dimana banyak masyarakat menjadi alat oleh oknum-oknum tertentu, dimana hanya dijadikan sebagai penggarap, dan harus menyetorkan hasil yang didapat.
”Misalkan ada orang yang merasa memiliki kebun di TNBBS lalu dia meminta orang lain menggarap dan menyetor ke dia, maka itu tidak akan terjadi lagi kedepannya. Siapa yang menggarap dan memiliki legalitas karena masuk dalam kelompok kemitraan konservasi maka itu hasilnya punya dia,” tegas Amri.
Lebih lanjut Amri mengungkapkan, pihaknya bersama masyarakat terus menggali potensi alam yang ada dan kemitraan konservasi nantinya sesuai keinginan masyarakat, misalkan melalui pengelolaan potensi rotan, buah buahan, lebah madu, atau potensi lainnya yang bisa dikelola masyarakat secara berkelompok.
”Kami sudah melakukan kunjungan dan pertemuan dengan masyarakat di Pekon Ujung Rembun, kemudian kami akan melakukan kunjungan ke Suoh dan Sekincau, kami akan mensosialisasikan termasuk mendengarkan pendapat masyarakat, setelah nantinya identifikasi selesai maka akan dilanjutkan dengan pembentukan kelompok,” imbuhnya. (nop/mlo)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: