Ujian Konghucu
Oleh: Dahlan Iskan
TENTU Pilwali Solo dan Medan yang paling menarik. Tapi medsos sudah begitu membanjiri keduanya. Saya memilih ke Manado –lewat tulisan ini.
Inilah kali pertama orang yang beragama Konghucu menjadi kepala daerah. Ia adalah Andrei Angouw. Umur 49 tahun. Anaknya empat orang. Pendidikannya, S-1 dan S-2, di University of Southern California, di Los Angeles. Ia lulus dari jurusan teknik industri.
Dari nama belakangnya, saya menebak Andre bermarga Ang. “Iya, benar,” ujar Andrei kepada saya kemarin malam.
Tapi Andrei sudah tidak bisa berbahasa Mandarin. “Sedikit pun tidak bisa,” katanya. “Kakek nenek saya pun sudah tidak bisa,” tambahnya. Andrei, bahkan, tidak punya nama Tionghoa.
Andrei mulai tertarik ke politik tahun 2005. Ia tidak lupa siapa yang mengajaknya: Dr Sinyo Sarundayang –waktu itu Gubernur Sulawesi Utara. Sarundayang memang terkenal sebagai tokoh yang dekat dengan agama apa saja. Ia juga dikenal sebagai pejuang keragaman masyarakat. Dan itu ia wujudkan di Minahasa.
Di Manado, Pilkada ternyata masih semangat. Calon wali kotanya masih empat pasang. Andrei diusung PDI Perjuangan. Memperoleh dukungan 36,9 persen –87.000 suara.
Bagi Andrei itu tidak sulit. Saat menjadi caleg DPRD Sulut tahun lalu perolehan suaranya sudah 38.000. Lalu berpasangan dengan sesama anggota DPRD yang perolehan suaranya sudah 17.000: Richard Sualang.
Andrei sudah tiga kali ikut pemilu. Tahun 2009 ia sudah terpilih sebagai anggota DPRD. Anggota biasa. Lalu terpilih lagi. Lalu menjadi Ketua Fraksi PDI Perjuangan.
Ketika ketua DPRD ikut Pilkada, jabatan ini kosong. Andrei terpilih sebagai Ketua DPRD. Maka ia menjadi orang Konghucu pertama yang menjadi ketua DPRD.
Di Pemilu tahun lalu ia terpilih lagi. Lalu menjadi Ketua DPRD lagi. Baru setahun, Andrei diminta mencalonkan diri sebagai wali kota Manado. Ia tinggalkan jabatan Ketua DPRD provinsi itu.
Di Manado hubungan antar ras dan agama memang sangat cair. Tantangan terbesarnya sudah dilewati: ketika terjadi kerusuhan SARA di Maluku. Manado adalah pilihan terbaik bagi para pengungsi. Baik yang Islam maupun yang Kristen. Dan dua kelompok itu ternyata menjadi rukun setelah di Manado.
Andrei punya tantangan besar menjadikan Manado sebagai pusat pengembangan kawasan regional. Manado-lah yang paling maju di kawasan itu. Tetangga Utaranya miskin: Mindanao, Filipina. Tetangga Baratnya miskin: Sabah. Tetangga selatannya miskin: Sulteng. Tetangga Timurnya sama: Maluku Utara.
Manado tidak bisa berharap berkah dari utara. Saya juga tidak punya harapan ke Sabah. Tidak banyak kemajuan di sana –tahun lalu saya ke sana lagi. Kota Tarakan di Kaltara kini jauh lebih baik dari Tawau. Manado lebih menarik dari Kinabalu.
Memang ada ”pesaing” dari tetangganya sendiri: Luwuk dan Morowali. Luwuk dengan LNG-nya dan Morowali dengan industri nikelnya.
Dulu, untuk ke Luwuk harus terbang dari Manado. Atau naik kapal dari Gorontalo. Kini berkah penerbangan itu sudah diambil Makassar.
Manado –dan Sulut–memang harus mencari bidang jasa. Lion Air pernah mau menjadikan Manado sebagai pusat pemeliharaan ratusan armadanya. Persiapan sudah dilakukan. Sayangnya batal. Pindah ke Batam. Di zaman Andrei nanti tidak boleh terjadi seperti itu.
Apalagi kini sudah beda. Dengan dibangunnya jalan tol Manado-Bitung –separo sudah beroperasi– poros dua kota itu akan bisa menjadi lokomotif ekonomi untuk kawasan sekitar.
Saya membayangkan Pemda bisa menguasai tanah 500 hektare di antara Manado-Bitung. Lebih baik kalau 1.000 hektare. Pemda jangan jual tanah itu. Sewakan saja. Kepada investor. Jangka yang agak panjang. Dengan murah.
Jangan investor diminta membeli tanah. Sudah tidak zamannya lagi. Investor zaman sekarang tidak mau ruwet. Dan lagi daerah tidak kehilangan aset itu. Suatu saat kelak nilainya tak terpermanai.
Andrei, yang lima tahun di Amerika, tentu punya pandangan global yang lebih baik. Untuk sementara, apa boleh buat, Manado hanya bisa tumbuh dari dalam. Pertumbuhan di dalam itulah yang pada saatnya akan menjadi daya tarik investor dari luar. Manado harus jadi pusat orang kreatif. Industri seperti musik dan film mestinya menjadi salah satunya. Andrei pasti bisa mengomandaninya. Masyarakat Manado harus diberi banyak tantangan. Yang berat-berat. Agar terus kreatif. Agar tidak sibuk bertengkar di dalam.
Andrei akan mampu menjadi dirijen yang baik. Apalagi ia pernah dua tahun menjadi konsultan yang bekerja di Arthur Andersen Jakarta –satu dari empat konsultan terbesar di dunia.
Ia tahu zaman kopra –yang membuat Manado jaya– sudah lama berlalu. Mungkin ia masih sempat melihat kejayaan Manado itu di masa kecilnya. Tapi zaman berubah cepat.
Cengkeh –andalan kedua kejayaan Manado– juga sudah lama berlalu. Andrei tahu sendiri itu. Ia bisa sekolah ke Amerika antara lain karena cengkeh.
Ayah Andre adalah orang yang menjadi kaya karena cengkeh. Ketika zaman cengkeh berlalu sang ayah tetap cinta Manado. Ia investasi di hotel besar di Manado: Grand Puri. Dari sini bisa memandang Manado Water Front City. Bisa pula memandang pulau Bunaken yang terkenal itu. Pun bisa menatap Gunung Manado Tua yang seperti tumbuh dari dalam laut. Dan tentu juga bisa melihat Gunung Lokon yang sering batuk-batuk ringan itu. Saya beberapa kali menginap di situ.
Hotel inilah yang membuat Andrei pulang ke Manado. Sang ayah yang memanggilnya pulang. Krisis moneter 1998 terlalu parah. Proyek hotelnya itu terancam tidak bisa selesai. Ia harus membantu ayahnya.
Maka ia tinggalkan Arthur Andersen. Ia pulang. Ia berhasil menyelesaikan hotel itu –lewat berbagai restrukturisasi.
Andrei akan menjadi contoh yang lain lagi. Apakah pengusaha seperti Andrei bisa ikut mengatur negara. Tentu, mestinya, Andrei tidak perlu lagi mencari apa-apa. Hartanya sendiri sudah lebih dari Rp 300 miliar. Betapa pula kalau disatukan dengan harta orang tuanya.
Andrei tidak tahu generasi keberapa yang lahir di Manado. Bahkan istrinya sudah lebih mempribumi lagi.
Mereka inilah yang menurut Weliam H Boseke sebagai keturunan dinasti Han di Tiongkok. Yang sudah menjadi ”suku Manado” atau suku ”Minahasa”.
Bulan lalu Boseke diundang ke Surabaya. Untuk membedah bukunya berjudul ”Leluhur Minahasa” (Disway 29 Oktober/Boseke Minahaizi). Saya ikut diminta membahasnya. Bersama Prof Dr Perry Rumengan, ahli etnomusikologi dari Universitas Negeri Manado. Juga Soetijadi Judo, pengusaha besar Tionghoa Surabaya yang hari itu mendapat marga Manado, Ratulangi.
Meski menamatkan SMA-nya di sekolah Katolik Manado, Andrei tetap ikut agama orang tuanya: Konghucu. Tiap bulan purnama Andrei ke kelenteng Ban Hin Kiong yang di pusat kota itu. Yang terkenal sebagai ”Kelenteng Berdewa”.
Tidak setiap Imlek dewa di situ mau memberkati jemaatnya. Tergantung firasat yang didapat suhu di situ. Maka setiap menjelang Imlek orang Tionghoa menunggu berita dari Manado: dewanya akan keluar atau tidak.
Begitu ada pengumuman sang dewa akan keluar, Manado kebanjiran manusia. Dari berbagai kota di Indonesia. Tahun lalu ada yang dari Medan. Bahkan dari Singapura, Taiwan dan Hongkong. Saya beberapa kali ke kelenteng itu –sayangnya tidak pas lagi ada dewannya.
Banyak pejabat yang mempermalukan agama dan partainya. Agama apa saja. Partai mana saja. Kecuali agama Konghucu –karena baru kali ini orang Konghucu mendapat ujian berat: menjadi pejabat publik.(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: