Wira menyoroti tingginya beban pajak yang harus ditanggung perusahaan pers, terutama media lokal.
Ia menyebut total pajak dapat mencapai 15 persen, terdiri dari PPN 11 persen, PPh 2 persen, serta pajak lain dari fee iklan.
“Jika pendapatan Rp100 juta, perusahaan harus menyetor Rp15 juta ke negara. Di Lampung, ini setara gaji lima wartawan sesuai UMR,” ujarnya.
Selain itu, kewajiban menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) juga menambah tekanan. Perusahaan yang terlambat melapor dikenai denda Rp500.000 per bulan.
“Mengapa pilar keempat demokrasi ditekan dengan kebijakan yang tidak proporsional?” kritiknya.
BACA JUGA:Tips Efektif Hilangkan Bekas Luka Bakar Secara Aman di Rumah
PWI Lampung juga memaparkan perbandingan pajak media di sejumlah negara.
Singapura menerapkan PPN 8 persen, Vietnam 6 persen, sedangkan India dan Amerika Serikat tidak mengenakan tax knowledge untuk media.
“Indonesia justru yang paling tinggi di Asia Tenggara,” tegas Wira.
Situasi ini, menurutnya, telah membuat pendapatan banyak media menurun drastis dan sejumlah perusahaan tidak lagi mampu membayar gaji wartawan.
“Kami bicara bukan hanya soal perusahaan, tapi juga kesejahteraan wartawan. Bagaimana kualitas SDM meningkat jika kebutuhan dasar tidak terpenuhi?” ujarnya.
BACA JUGA:Polda Lampung Amankan Tiga Tersangka Penyalahgunaan Solar, SPBU Sribhawono Dibekukan
Hasil diskusi akan dirumuskan menjadi rekomendasi resmi untuk Kementerian Keuangan dan disampaikan kepada Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia.
Organisasi perusahaan pers nasional seperti SMSI, AMSI, dan SPS juga disebut sudah melakukan advokasi serupa.
Agenda ditutup dengan pemaparan panelis dari unsur perpajakan, organisasi media, dan akademisi.
Para peserta berharap diskusi ini menjadi langkah penting menuju kebijakan afirmatif bagi industri pers yang tengah menghadapi tantangan besar di era digital.