
MEDIALAMPUNG.CO.ID — Pengukuran ulang lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik Sugar Group Companies (SGC) tengah menjadi sorotan publik.
Banyak pihak mempertanyakan berapa sebenarnya luas lahan HGU yang dikuasai SGC dan sejauh mana kontribusinya terhadap pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Menanggapi hal tersebut, Komisi II DPR RI beberapa waktu lalu menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Dalam rapat tersebut, Komisi II meminta Kementerian ATR/BPN untuk segera melakukan pengukuran ulang terhadap lahan HGU milik SGC.
BACA JUGA:Lapangan Kalpataru Dipadati Warga Berolahraga Sore Hari
BACA JUGA:Bandar Lampung Expo 2025 Dipadati Pelajar dan Pegawai, Area Bazaar Jadi Magnet Utama
Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Lampung, Hasan Basri Natamenggala, menyatakan bahwa estimasi biaya yang dibutuhkan untuk pengukuran ulang mencapai hampir Rp10 miliar.
Hal ini mengingat luas lahan yang harus diukur ulang mencapai sekitar 84.523,919 hektare.
Namun, Hasan menambahkan bahwa proses pengukuran hanya dapat dilakukan apabila ada permohonan dari pemegang hak atau adanya persetujuan dari mereka.
Pernyataan tersebut disampaikannya dalam Rapat Koordinasi Pemerintah Provinsi Lampung bersama Forkopimda, instansi vertikal, dan BUMN di Hotel Akar, Rabu 16 Juli 2025.
BACA JUGA:Pinkan Mambo: Dhani dan Maia Hanya Bisa Damai Jika Bertemu Langsung
BACA JUGA:PDPM Lampung Utara Resmi Dilantik, Siap Jadi Mitra Kritis Pembangunan
Menanggapi hal ini, Pengamat Hukum Agraria dari Universitas Bandar Lampung (UBL), Okta Ainita, SH., MH., menegaskan bahwa tidak ada aturan hukum yang mewajibkan Kementerian ATR/BPN untuk meminta izin terlebih dahulu kepada pemegang HGU dalam rangka pengukuran ulang.
“Tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa BPN harus menunggu persetujuan pemegang hak untuk melakukan pengukuran ulang, apalagi jika itu dalam rangka pengawasan, audit, atau penyelesaian sengketa,” ujar Okta saat dihubungi Radarlampung.co.id, Kamis 17 Juli 2025.
Ia mengacu pada Pasal 2 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan bahwa negara melalui BPN memiliki kewenangan penuh untuk mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penguasaan tanah termasuk HGU, tanpa perlu persetujuan dari pemegang hak.
“Hal ini juga diperkuat dengan PP No. 40 Tahun 1996 dan Permen ATR/BPN No. 21 Tahun 2020 yang memberikan landasan hukum untuk melakukan pengukuran ulang sebagai bagian dari fungsi pengawasan dan penyelesaian masalah pertanahan,” jelasnya.
BACA JUGA:Lapangan Kalpataru Dipadati Warga Berolahraga Sore Hari
BACA JUGA:Bandar Lampung Expo 2025 Dipadati Pelajar dan Pegawai, Area Bazaar Jadi Magnet Utama
Menurut Okta, pengukuran ulang seharusnya bisa dilakukan atas inisiatif negara demi kepastian hukum dan kepentingan publik, bukan semata-mata menunggu permintaan atau izin dari perusahaan pemegang HGU.
Terkait pembiayaan, Okta mengakui bahwa pengukuran lahan dalam skala besar memang membutuhkan anggaran besar dan biasanya dibebankan melalui skema Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Namun, jika pengukuran dilakukan demi kepentingan publik, seperti adanya permintaan DPR atau indikasi penyimpangan yang merugikan masyarakat, maka seharusnya negara mengalokasikan anggaran melalui belanja publik.
“Jangan sampai alasan biaya atau harus adanya persetujuan perusahaan menjadi hambatan birokratis yang menghalangi transparansi dan keadilan agraria,” tegasnya.
BACA JUGA:Lapangan Kalpataru Dipadati Warga Berolahraga Sore Hari
BACA JUGA:Bandar Lampung Expo 2025 Dipadati Pelajar dan Pegawai, Area Bazaar Jadi Magnet Utama
Ia pun menyarankan agar Kementerian ATR/BPN melakukan evaluasi kebijakan internal agar selaras dengan prinsip penguasaan negara atas tanah demi kemakmuran rakyat.