Historisma

Jumat 28-08-2020,06:53 WIB
Editor : Andry Nurmansyah

Oleh: Dahlan Iskan

SEJAK Covid-19 baru sekali ini saya bertemu Bu Risma —Tri Rismaharini, wali kota Surabaya.

Sore itu, Selasa lalu, saya baru tiba dari Jakarta. Lewat jalan tol. Saya hanya sempat mampir rumah untuk makan gulai pipi kambing masakan istri. Itu saya anggap makan malam. Sudah jam 5 sore.

Saya masih punya empat acara setelah itu.

Saya pun langsung berangkat lagi ke Adi Jasa. Yakni tempat persemayaman mayat-mayat sebelum dikuburkan atau dikremasi. Khususnya bagi masyarakat Tionghoa.

Ada dua pengusaha besar yang meninggal hampir bersamaan. Yang satu bernama Henry J. Gunawan. Ia meninggal di tahanan. Akibat serangan jantung. Umurnya dua tahun lebih muda dari saya.

Pengusaha itu lagi bertengkar hebat dengan pengusaha lainnya. Yang juga teman-teman saya.

Saya memilih untuk tidak memihak. Henry itu sampai diperkarakan di enam perkara. Yang empat sudah dijatuhi hukuman tapi masih naik banding.

Henry adalah raja tanah. Ia lagi bertengkar dengan raja-raja tanah lainnya.

Ia juga pernah menggugat Pemkot Surabaya. Ia mempersoalkan kepemilikan kebun bibit seluas 2 hektare di dalam kota Surabaya.

Henry menang dalam gugatan itu. Tapi saya merayunya: Anda memang menang, tapi baiknya tanah kebun bibit itu Anda serahkan ke negara, ke Pemkot. Kalau tidak, Anda akan dimusuhi rakyat  Surabaya.

Masyarakat sudah menganggap kebun bibit adalah fasilitas umum kota.

Henry mendengarkan pendapat saya. Ia diam sebentar. Menunduk. Lalu menyalami saya. “Saya akan serahkan tanah itu ke Pemda,” katanya.

Maka kebun bibit itu menjadi tidak masalah lagi. Di masa wali kota Risma, kebun bibit itu menjadi paru-paru kota yang rimbun.

Kejadian itu jauh sebelum saya sakit. Berarti juga jauh sebelum saya pindah ke Jakarta —untuk menjadi sesuatu itu.

Rupanya terlalu lama saya meninggalkan Surabaya. Pulang-pulang sudah banyak yang berubah. Teman-teman saya, para pengusaha itu, banyak yang bertengkar. Gajah pada lawan gajah.

Termasuk bagaimana pengusaha besar seperti Alim Markus (yang terkenal dengan iklan ‘Cintailah Ploduk-Ploduk Indonesia’) bertengkar hebat dengan pengusaha seperti Soekotjo. Juga mengenai tanah.

Saya menjadi heran.

Sampai ada yang pinsan di pengadilan.

Saya tertegun. Bagaimana bisa para pengusaha Surabaya yang dulu saya kenal sangat rukun dan kompak itu menjadi saling bertengkar.

Salah satu pertengkaran itu kini selesai. Tuhan yang menyelesaikannya. Henry sudah menang dengan lebih dulu menghadap Tuhan. Di sana ia bisa curhat lebih dulu kepada-Nya.

Di Adi Jasa itu ada pengusaha besar lain yang juga menunggu dimakamkan: Suwadji Widjaja, 77 tahun.

Ia adalah saudara tertua dari enam bersaudara pemilik pabrik sepatu yang sangat besar di Surabaya. Yang adiknya meninggal terkena Covid-19 awal bulan ini. Yang saya pun melayatnya secara drive through (Disway…).

Si Sulung ini sebenarnya juga terkena Covid-19. Ia masuk rumah sakit bersamaan dengan si adik. Keduanya memang aktivis Yayasan Xianyou, perkumpulan asal usul kampung halaman nenek moyang di Tiongkok. Mereka sering rapat bersama. Makan-makan bersama. Nyanyi-nyanyi bersama.

Ketika si adik meninggal dunia ia tidak tahu.

Dua minggu kemudian si sulung membaik. Covid-19 nya  sudah dinyatakan negatif. Tapi belum bisa keluar dari RS. Masih ada sakit yang lain.

Akhirnya si sulung ini meninggal dunia juga. Bukan karena Covid-19. Itulah sebabnya jenazahnya bisa disemayamkan di Adi Jasa. Sampai dengan meninggal dunia ia tidak tahu bahwa adiknya sudah mendahuluinya.

Dari mesong itu saya masih harus ke kantor Harian DI’s Way. Sampai habis magrib. Beberapa pekerjaan selesai.

Saya pun pergi ke acara ini: peresmian sebuah kafe. Yang lokasinya tidak jauh dari kebun bibit.

Yang membuat saya datang adalah pemilik kafe itu: Fuad  Bernardi. Ia adalah anak laki-laki Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Nama kafenya unik: Cafe Historisma. Bisa banyak arti: bisa sebagai tempat bersejarah bagi Risma. Ada unsur ‘story. Ada unsur ‘store. Ada unsur ‘Risma’.

Teras rumah yang dijadikan kafe itu memang bersejarah bagi Risma. Di rumah itulah Risma tumbuh sampai menjadi sarjana teknik arsitektur.

Itu rumah orang tua Risma. Yang awalnya pegawai pajak. Tapi sang ayah minta pensiun dini. Lalu menjadi pengusaha. Salah satu usahanya adalah jualan batu untuk eksterior. Karena itu sebagian eksterior kafe ini berupa tempelan-tempelan batu.

Rumah itu adalah bukti sukses usaha ayah Risma. Demikian juga rumah yang ditempati Risma sekarang. Risma memang tidak pernah mau tinggal di rumah dinas wali kota.

Waktu mahasiswa pun Risma sudah naik mobil. Yang dibelikan oleh ayahnyi. Dan sang ayah sangat menginspirasi Risma. “Sejak masih mahasiswa saya sudah mencari uang,” ujar Risma saat memberi sambutan di pembukaan kafe itu. Yakni menjadi konsultan di perusahaan-perusahaan jasa arsitektur.

Meja gambar yang biasa dipakai Risma untuk bekerja, masih tersimpan di rumah itu. Sekaligus untuk alat belajar. Itu akan menjadi benda histori di Historisma Cafe. Termasuk meja belajar saat Risma masih SMA.

Gambar-gambar Risma juga banyak menghiasi dinding kafe itu. Bentuknya lukisan. Karya pelukis Rahmad Prihandoko.

Rumah itu sendiri sangat sederhana —untuk ukuran sekarang dan untuk ukuran rumahnya ayah seorang wali kota Surabaya dua periode.

Bentuknya seperti umumnya rumah model tahun 70-an. Lokasinya juga di daerah kelas tiga Surabaya. Bukan di daerah elite. Dekat pasar burung. Dua kios jualan bahan bangunan di seberang rumah itu adalah milik ayahnyi.

Luas tanahnya pun hanya sekitar 300 m2. Dengan status tanah yang masih ‘surat ijo. Risma menceritakan sudah mengurus untuk menjadi hak milik. Sudah diurus sejak beberapa tahun lalu. “Tapi tidak bisa. Peraturannya tidak membolehkan,” ujar Risma di sambutannyi itu.

Mengapa rumah itu tidak direnovasi agar lebih masa kini?

“Ayah saya berpesan agar rumah ini jangan diubah-ubah tanpa persetujuan beliau,” ujar Risma. “Semua kayu di rumah ini adalah jati. Jatinya istimewa. Jati tua,” tambahnyi.

Sang ayah sudah lama meninggal. Tapi ada cerita tersendiri mengapa Fuad diizinkan membuka kafe di situ. “Waktu Fuad masih berumur 10 tahun, Fuad saya ajak ke rumah ini. Untuk menengok ayah. Saat itulah ayah mengatakan rumah ini kelak biar untuk Fuad saja,” ujar Risma.

Risma sendiri sejak awal sebenarnya ingin menjadi pengusaha. Dia sudah mantap. Sudah mulai merasakan besarnya penghasilan sebagai pengusaha.

Risma ingin seperti ayahnyi. Juga ingin seperti kakeknyi. “Kakek saya itu kiai tapi juga pengusaha,” ujar Risma.

Tapi sang ibu menginginkan Risma menjadi pegawai negeri. Maka jadilah Risma pegawai negeri. “Saya ingin menyenangkan ibu. Saya juga ingin masuk surga,” ujar Risma.

Apakah Fuad tidak ingin jadi calon wali kota menggantikannyi?

Kelihatannya Fuad punya minat di bidang politik. Ia sudah terjun ke ormas. Kini ia menjadi ketua Karang Taruna Surabaya.

Waktu dipancing-pancing wartawan soal pencalonannya itu Fuad juga tidak menepis. Bahkan tahun lalu ia sudah  ngotot ingin menjadi calon anggota legislatif. Tapi gagal maju.

Dari acara peresmian kafe malam itu barulah jelas: pencalonan wali kota itu tidak mungkin.

“Fuad itu minta izin untuk menjadi caleg saja tidak saya izinkan,” ujar Risma.

Risma sendiri sudah siap-siap menjadi pengusaha kecil. Setelah tidak jadi wali kota beberapa bulan lagi.

Itulah sebabnya Fuad hanya boleh bukan kafe di teras rumah itu.

Di dalam rumah kelihatannya akan dipakai Risma untuk usaha. “Saya suka batik,” ujar Risma pada saya malam itu.

Ternyata wali kota Surabaya yang hebat itu begitu sederhana merencanakan hidupnya.(*)

Tags :
Kategori :

Terkait