Password Yudiu

Rabu 24-06-2020,05:57 WIB
Editor : Andry Nurmansyah

Oleh : Dahlan Iskan

Pun anak Anda: akan selalu melihat bapaknya. Meski pun sang bapak sedang di tempat yang jauh.

Contohnya anak kecil Yudi Utomo (Yudiu) ini. Yang setelah besar kelak menjadi ahli nuklir lulusan Amerika. Yang sekarang menjadi direktur utama salah satu perusahaan --di grup yang saya dirikan.

Waktu ia masih SD bapaknya mendapat beasiswa di New York. Selama 6 tahun. Sampai meraih gelar doktor. Di New York University.

Sang bapak tidak boleh membawa keluarga.

Tapi Yudiu ikut ke New York --dalam khayalannya. Ia cari bacaan tentang kota itu. Tentang Amerika Serikat. Tentang pesawat terbang. Tentang makanan di sana. Tentang apa pun menyangkut Amerika.

Belum ada internet. Belum ada Google. Ia harus rajin ke perpustakaan di kotanya, Jogja. Ayahnya dosen di Universitas Gadjah Mada. Tinggalnya di kompleks perumahan dosen.

Yudiu juga rajin ke toko buku. Belum ada Gramedia yang sekarang menjadi raja buku di Jogja. Baru ada Gunung Agung.

”Waktu SD pun saya sudah hafal seluruh negara bagian di Amerika,” ujarnya. ”Hafal juga semua ibu kotanya,” tambahnya.

Peta Amerika ia kuasai. Peta kertas itu. Saat matanya sampai ke titik kota New York ia lebih lama memandang titik itu. ”Di sini bapak saya,” katanya dalam hati.

Setiap kali melihat peta itu matanya berhenti lagi di New York. Ia bayangkan ayahnya lagi sekolah di situ. Ia bayangkan kelak ia pun harus sekolah di Amerika.

Maka ia rajin belajar bahasa Inggris. Waktu nonton tv ia pilih tayangan film Hollywood --untuk menyerap bahasanya. Setiap melihat turis ia kejar. Kebetulan banyak turis asing di Jogja. Ia praktekkan bahasa Inggrisnya.

Begitu lulus SMA ia lihat peluang untuk tes pertukaran pelajar. Ia ikut tes. Enteng. Ia sudah menguasai Amerika.

Lulus.

Yudiu pun ke Amerika. Mendarat di San Francisco. ”Ini lah Amerika itu...,” kata hatinya.

Dari pantai barat itu Yudiu harus menjalani program pengenalan di pantai timur Amerika: di New York. Oh... Di situlah bapaknya dulu sekolah. Yang ketika ia berhasil ke kota itu ayahnya sudah kembali ke Jogja. Sudah menjadi wakil rektor IKIP.

Akhirnya Yudiu mendapat orang tua asuh di negara bagian Oregon. Di pantai barat. Di utaranya San Francisco. Setelah seminggu di New York, Yudiu harus balik lagi ke pantai barat. Terbang lagi lima jam.

Di situlah Yudiu masuk SMA. Di sebuah kota kecil bernama Albany. Ia harus tinggal di sebuah keluarga kulit putih. Yang juga aktivis gereja.

Pekerjaan ”orang tua angkat” -nya itu tukang pipa. Bukan orang kaya. TV-nya hitam putih --ketika di rumahnya di Jogja TV-nya sudah berwarna.

Ia pun harus tinggal satu kamar dengan anak-anaknya.

Yang Yudiu heran: keluarga ini kok punya dua mobil. Kelak ia tahu bahwa mobil di Amerika itu penting sebagai alat kerja --bukan lambang kemewahan. Dan memang tidak mahal.

Ia belajar banyak soal toleransi. Anak Islam taat yang harus tinggal di keluarga Kristen taat. Yudiu melihat betapa ”bapak”-nya itu menghormati keyakinan Yudiu --termasuk soal makan babi.

Ia juga belajar hidup. Waktu itu sepatunya sudah jebol. ”Bapak” nya itu tahu. Lalu membicarakannya.

”Apakah kamu perlu membeli sepatu baru?” tanya sang bapak.

”Iya. Tapi saya tidak punya uang,” jawab Yudiu.

Sang bapak pun memberi tahu jalan mendapat uang. Asal Yudiu mau berkeringat. Yakni menjadi tukang potong rumput di halaman tetangga. Sang bapaklah yang akan mengantarkan ke para tetangga itu.

Yudiu pun mengambil pelajaran sangat berharga. Meski masih SMA anak Amerika sudah diajar mandiri. Ia pun melakukan pekerjaan potong rumput itu. Toh pakai mesin. Mirip dengan bermain.

Yudiu pun bisa membeli sepatu. Dengan uang hasil keringatnya sendiri.

Ia juga belajar keras --meski tiap hari juga bermain sepak bola: posisinya penyerang.

Ia ingin punya ijazah SMA Amerika --meski hanya setahun di situ. Ia harus bisa melahap semua pelajaran SMA. Toh ia sudah lulus SMA di Jogja.

”Jadinya saya punya dua ijazah SMA,” ujar Yudiu saat rekaman video ”Abah Menjawab” di rumah saya.

Di video itu saya yang mewawancarainya. Akan disiarkan beberapa hari lagi.

Atau mungkin tidak akan pernah disiarkan.

Tergantung.

”Tergantung apa?” tanyanya.

"Tergantung Ensterna bisa beroperasi atau tidak,” jawab saya sambil bercanda.

PT Ensterna Indonesia adalah perusahaan baru. Yudiu-lah Dirutnya. Itu bergerak di bidang irradiasi. Atau sterilisasi. Untuk produk apa saja. Bisa buah, alat kesehatan, pakaian, sampai makanan dan minuman.

Investasinya hampir Rp 200 miliar.

Tiba-tiba ada Covid-19. Terhambat luar biasa --mestinya. Tenaga ahli dari luar negeri tidak bisa ke Indonesia. Padahal mesin-mesin sudah tiba di lokasi pabrik: di kompleks industri Tambak Langon Surabaya.

Saya tidak paham cara kerja mesin itu. Pun setelah dijelaskan. Sebagai ”anak TK” di bidang itu saya punya pemahaman sendiri: itulah mesin pembuat petir --sekaligus penipu petir.

Lihat sendiri saja videonya nanti --jalau jadi disiarkan.

Syarat agar video itu disiarkan adalah: kalau pabrik Ensterna sudah beroperasi.

Mestinya seminggu lagi: 4 Juli 2020 --bersamaan dengan hari ulang tahun Amerika Serikat: negeri yang membuatnya bisa beli sepatu pertama. Juga negeri yang membuatnya menjadi doktor ahli nuklir.

Tapi ada Covid-19. Para ahli luar negeri tidak bisa datang.

”Anda kan lebih ahli dari mereka,” kata saya.

Betul. Tapi mesin ini tiba tanpa petunjuk apa-apa. Ada rahasia pabrik mesin di situ. Petunjuk itu baru akan diberikan kelak --setelah mesin diserahterimakan dalam kondisi beroperasi.

Tapi kapan Covid-19 ini berakhir? Akankah investasi begitu besar harus kalah dari Covid? Bagaimana kewajiban terhadap banknya nanti?

Yudiu pun membentuk tim teknologi. Anak-anak muda dari Jogja ia kerahkan: yang lulusan teknik nuklir UGM. Atau yang semester akhir.

Merekalah yang mengambil alih peran tenaga asing.

Mesin pun dibuka. Sangat banyak software di situ yang harus dipelajari. Celaka: semua software dikunci dengan password.

Ada yang akhirnya bisa menemukan rahasia itu. Begitu dibuka ketemu password lagi. Yang berikutnya lagi. Password dikunci dengan password.

Satu persatu kesulitan itu terpecahkan. Saat saya menulis naskah ini tinggal satu password lagi yang sedang dikeroyok anak-anak muda itu. Yang umurnya 22, 23 dan yang paling tua 27 tahun.

Tugas saya hanya satu: berdoa. Di malam-malam saya. (Dahlan Iskan)

Tags :
Kategori :

Terkait