Orang Kalah

Selasa 10-11-2020,05:16 WIB
Editor : Andry Nurmansyah

Oleh Dahlan Iskan

ORANG kalah banyak masalah. Yang awalnya tak terlihat pun bisa tiba-tiba muncul jadi persoalan.

Orang-orang dekat orang kalah biasanya juga langsung terpecah-pecah. Ada yang ngotot, ada yang tawakal dan ada pula yang cari selamat.

Demikian juga di sekitar Presiden Donald Trump. Yang baru saja kalah di Pemilu 3 November lalu.

“Lebih baik menyerah secara terhormat,” ujar beberapa tokoh Republik seperti tersiar luas di media. Bahkan menantu Rupert Murdoch, Kathryn, mengatakan agar FoxNews, kali ini, mementingkan negara daripada laba. Murdoch adalah pemilik FoxTVNew York Pos, dan Wall  Street Journal. Maksudnya: Agar Fox berhenti terus memberi angin surga pada Trump.

Policy itu tampaknya sudah dilakukan Fox di detik-detik akhir Pemilu. Fox-lah yang justru lebih dulu menyatakan Joe Biden menang di Arizona. Yang nilai berita itu seperti membaik piring kemenangan sementara  Trump.

Dan itu diulang lagi saat memberitakan hasil penghitungan suara di Pennsylvania. Yang membuat Biden langsung menang telak. Tanpa harus menunggu hasil penghitungan suara di Nevada.

Bahkan Fox-lah yang pertama menyatakan Biden terpilih sebagai presiden baru.

Kelompok ini berpendapat ”menyerah secara terhormat justru bisa memberi peluang pada Trump untuk maju lagi 4 tahun mendatang”.

Harus diingat: biar pun kalah, suara yang diperoleh Trump bukan main besarnya: 71 juta. Itu adalah modal nyata. Apalagi mereka itu banyak yang fanatik buta. Bahkan masih percaya bahwa sebenarnya Trump-lah yang menang.

Mereka begitu percaya Trump itu dicurangi. Trump itu sengaja disingkirkan oleh komplotan rahasia misterius yang mengendalikan media-media besar.

Tidak mudah mengubah pikiran orang yang seperti itu.

Kalau Trump bisa memelihara kultus itu siapa tahu bisa terpilih lagi kelak. Meski usianya, saat itu nanti, 78 tahun. Toh Biden sekarang ini terpilih di usia 76 tahun ­–selisih dua tahun tidak ada artinya.

Tapi seperti kelompok Rudy Giuliani, tetap keras: tidak mau menyerah. Tetap harus gugat ke pengadilan. Saking kerasnya sampai panik –tapi lucu.

Hari itu, Rudy ingin mengadakan konferensi pers soal gugatannya itu. Presiden Trump mengumumkannya di twitter-nya: Hari ini jam 11.00 akan ada peristiwa besar, yakni konferensi pers Rudy Giuliani tentang rencana gugatan Pemilu. Konferensi pers itu, tulis Trump, diadakan di Four Seasons Hotel, Philadelphia.

Sesaat kemudian tweet itu hilang. Muncul yang baru: tempat konferensi pers itu adalah di Four Season Total Landscaping.

Rupanya saat tweet pertama itu terbit, pihak Four Season Hotel melakukan klarifikasi: tidak ada pemesanan tempat dari Trump pagi itu.

Kelihatannya pihak Trump salah pencet telepon. Kok bisa. Yang ditelepon rupanya memang Four Season, tapi yang bukan hotel.

Rupanya nama Four Season juga dipakai oleh sebuah perusahaan kontraktor pertamanan di Philadelphia.

Pihak hotel Four Season juga mengunggah tweet: perusahaan pertamanan itu tidak ada hubungan dengan hotel Four Season.

Meski salah tidak ada waktu lagi untuk mencari tempat baru. Maka para wartawan pun menuju ke perusahaan pertamanan itu ­–sambil terheran-heran kok ini eksentrik sekali: konferensi pers tentang kepresidenan dilakukan di pinggiran kota dan di tempat parkir pula.

Lokasi kontraktor itu memang di pinggiran kota. Letaknya dekat tempat kremasi mayat. Untuk ke situ juga harus melewati toko yang menjual buku-buku porno.

Tentu tidak ada ruangan yang pantas untuk level acara presiden di situ. Maka konferensi pers pun diadakan di tempat parkir. Tinggal diberi sedikit karpet untuk podium beridentitas “Trump 2020”. Di tembok belakang podium itu dipasang banner yang juga berhias “TRUMP 2020”.

Di podium itulah, Rudy melakukan konferensi pers. Ia membawa serta beberapa saksi –para relawan Trump yang sebagian adalah pengacara.

Para saksi itu ikut diminta bicara di podium. Umumnya mereka mengatakan Pemilu ini tidak jurdil. Mereka mengatakan tidak bisa masuk ruang penghitungan suara. Sangat mencurigakan, katanya.

Rudy sendiri berkeras bahwa Pemilu ini belum selesai. Masih jauh dari selesai. Baru media-lah yang menyatakan Biden menang. Masa media yang membuat keputusan siapa presiden Amerika. “Keputusan harus datang dari pengadilan,” katanya.

Twitter pun ribut dengan tanggapan: “Keputusan bukan dari pengadilan. Tapi dari rakyat,” unggah mereka.

Pengunggah twitter juga memuji habis petugas penerima telepon di perusahaan pertamanan itu. Kok ya penerima telepon mau menerima pesanan untuk tempat konferensi pers. Kok ya tidak mengingatkan bahwa lokasi ini tidak cocok untuk acara kepresidenan.

Maka nama perusahaan pertamanan ini ngetop habis. Dalam sekejap. Ketika saya memasukkan kata ”four season” di Google, yang muncul pertama adalah perusahaan pertamanan itu. Hotel bintang lima yang terkenal di seluruh dunia, Four Season, malah baru muncul di bawahnya.

Rezeki memang tidak bisa ditolak.

Apalagi rezeki dari seorang presiden Amerika.

Setidaknya lelucon opo tumon ini bisa mengendurkan ketegangan akibat Pemilu.

Yang termasuk di kelompok keras ini adalah Lindsey Graham. Dari Partai Republik. Ia baru terpilih kembali sebagai anggota Senat dari dapil South Carolina. Ini untuk keempat kalinya Graham jadi anggota Senat.

“Saya akan menyumbang Trump USD 500.000 untuk biaya menggugat ke pengadilan,” katanya. “Trump itu pasti menang,” tambahnya.

Uang hampir Rp 10 miliar itu bukan dari kantungnya sendiri. Itu uang masyarakat yang ia kumpulkan untuk biaya kampanye sebagai caleg. Ia berhasil mendapat sumbangan sekitar USD 50 juta. Rupanya masih tersisa banyak.

Enak bukan nyaleg di negara kaya? Begitu mudah mendapat sumbangan dari masyarakat.

Maka para politisi di sini sebaiknya membuat rakyat kaya dulu. Agar rakyat bisa  menyumbang Rp 1 juta dengan perasaan seperti membayar parkir.

Di luar dua jenis kelompok itu tentu ada satu kelompok lagi: yang ingin cari selamat. Mereka ini sekarang tentu sibuk mengusahakan agar Trump mau mengeluarkan surat pengampunan. Agar kalau presidennya ganti nanti tidak ditersangkakan.

Hak mutlak seorang presiden untuk mengeluarkan surat pengampunan. Tidak ada batas jumlahnya. Juga tidak harus pakai alasan. Dan semua presiden Amerika melakukan itu.

Presiden Bill Clinton, misalnya, mengampuni saudara kandungnya: Roger, yang dikejar oleh kasus kepemilikan kokain.

Clinton mengeluarkan surat pengampunan terhadap 450 orang. Termasuk kepada Marc Rich, seorang penyumbang besar Partai Demokrat. Rich tersangkut masalah pajak.

Pertanyaan yang ramai di Amerika sekarang adalah: bolehkah Presiden Trump memberikan pengampunan pada dirinya sendiri.

Ada yang bilang boleh. Ada pula ahli yang bilang tidak boleh.

Prof. Brian Kalt, ahli hukum konstitusi dari Michigan State University mengatakan “konstitusi  tidak merumuskannya secara jelas,” katanya.

Prof Kalt mengaku banyak sekali yang bertanya soal itu. “Saya biasanya menjawab begini: well, ia bisa mencobanya,” ujar Kalt.

Menurut Anda apakah Trump akan mencobanya? (*)

Tags :
Kategori :

Terkait